Viral Bakso Babi di Bantul Berspanduk Tidak Halal, MUI dan DMI Beri Penjelasan Lengkap

Viral Bakso Babi di Bantul Berspanduk Tidak Halal, MUI dan DMI Beri Penjelasan

Fenomena kuliner kembali bikin heboh media sosial. Sebuah warung di Bantul, Yogyakarta, viral setelah memasang spanduk besar bertuliskan “Bakso Babi – Tidak Halal”. Unggahan foto warung itu menyebar cepat di berbagai platform seperti X (Twitter), TikTok, dan Instagram, menimbulkan pro dan kontra di kalangan netizen.

Sebagian warganet menilai langkah pemilik warung cukup berani karena secara terbuka memberi tahu bahwa produknya tidak halal. Namun, sebagian lain merasa heran kenapa ada penjual yang secara terang-terangan menjual bakso babi di daerah dengan mayoritas penduduk Muslim. Polemik ini pun akhirnya menarik perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) setempat.


Asal Usul Warung Bakso Babi di Bantul

satuhalaman.com – Warung yang kini viral itu terletak di kawasan Banguntapan, Bantul. Pemiliknya diketahui bernama Sutrisno, warga keturunan Tionghoa yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut. Menurut penuturan warga sekitar, Sutrisno sudah lama menjual bakso, tapi baru beberapa bulan terakhir mengganti bahan bakunya menjadi daging babi.

Langkahnya memasang spanduk “tidak halal” bukan tanpa alasan. Ia mengaku ingin bersikap jujur agar tidak menipu pembeli, terutama yang beragama Islam.

“Saya cuma jual makanan, tapi saya tahu orang Islam enggak makan babi. Jadi saya tulis besar-besar biar jelas,” ujar Sutrisno saat diwawancara oleh media lokal.

Sikap terbuka itu justru menuai simpati dari sebagian masyarakat yang menilai kejujuran seperti ini jarang ditemukan di bisnis kuliner.

Reaksi Publik dan Viral di Media Sosial

Tak butuh waktu lama, unggahan tentang bakso babi di Bantul langsung menjadi trending.
Netizen ramai membagikan foto spanduk besar bertuliskan “Bakso Babi – Tidak Halal” dan mengomentari dengan beragam perspektif.

Beberapa komentar mendukung langkah pemilik warung:

“Justru ini keren, jujur banget. Harusnya semua penjual kayak gini,” tulis akun @kulinerjogja.

Namun, tak sedikit pula yang salah paham dan menyangka penjualnya sengaja menantang norma mayoritas. MUI pun akhirnya turun tangan memberi penjelasan agar publik tidak salah persepsi terhadap isu ini.

Penjelasan MUI dan DMI Bantul

Ketua MUI Bantul, KH. Ahmad Fauzan, menegaskan bahwa secara hukum, menjual makanan tidak halal tidak dilarang selama dilakukan dengan jujur dan tidak menipu konsumen Muslim.

“Yang dilarang adalah menjual produk haram dengan klaim halal. Kalau dia terang-terangan menulis tidak halal, itu justru transparan dan sesuai etika perdagangan,” tegasnya.

Hal senada disampaikan oleh Ketua DMI Bantul, H. Zainal Arifin. Ia mengatakan pihaknya mengapresiasi kejujuran pemilik warung, tapi juga mengingatkan agar tetap menjaga ketertiban dan menghormati nilai sosial di masyarakat sekitar.

“Kita hidup di lingkungan yang mayoritas Muslim, jadi walaupun jujur, tetap perlu sensitif terhadap konteks sosial,” ujarnya.

Perspektif Hukum dan Regulasi Pangan Halal

Dalam regulasi pemerintah, penjualan makanan tidak halal memang diperbolehkan selama tidak menyesatkan dan tidak memakai label halal secara palsu.
Aturan ini tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), di mana setiap produk wajib menyertakan status kehalalan secara jelas.

Jadi, tindakan pemilik warung bakso babi di Bantul sebenarnya sudah memenuhi asas transparansi yang diharapkan pemerintah. Ia bahkan bisa dibilang memberi contoh bagaimana pelaku usaha non-Muslim bisa tetap berbisnis tanpa menimbulkan fitnah atau pelanggaran.

Reaksi dari Warga Sekitar dan Pelanggan

Beberapa warga sekitar mengaku awalnya kaget, tapi kini mulai terbiasa dengan keberadaan warung bakso babi tersebut.

“Awalnya heran aja ada tulisan gede begitu, tapi setelah tahu maksudnya biar enggak salah, ya udah biasa aja,” kata Siti, warga Banguntapan.

Sementara pelanggan tetap, yang sebagian besar non-Muslim, menyebut rasa baksonya enak dan punya tekstur yang berbeda dari bakso sapi biasa. “Saya malah suka, karena rasanya gurih banget,” ujar Budi, pelanggan asal Yogyakarta.

Warung itu kini justru makin ramai dikunjungi, sebagian karena penasaran setelah viral di media sosial.

Reaksi Warganet: Antara Dukungan dan Kritik

Fenomena ini menimbulkan dua kubu di dunia maya: mereka yang menganggap kejujuran pemilik warung sebagai hal positif, dan mereka yang menilai langkah itu bisa menyinggung umat Islam.

Tagar #BaksoBabiBantul bahkan sempat trending di Twitter selama dua hari.
Sebagian warganet meminta agar masyarakat tidak terlalu reaktif, karena jelas-jelas spanduknya menulis “tidak halal”. Namun, ada juga yang mendesak agar lokasi penjualan makanan tidak halal diatur lebih ketat agar tidak menimbulkan keresahan.

Tanggapan Pemerintah Daerah Bantul

Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Perdagangan menyatakan tidak ada pelanggaran dari sisi izin usaha. Kepala dinas memastikan bahwa selama warung itu memenuhi syarat higienitas dan tidak menipu konsumen, pemerintah tidak bisa menutup atau melarang usahanya.

“Kita menghormati keberagaman. Yang penting informasinya jelas, tidak mengaku halal padahal tidak,” ujar pejabat Dinas Perdagangan Bantul.

Namun, Pemkab juga akan berkoordinasi dengan pihak MUI dan DMI untuk memastikan komunikasi publik dilakukan dengan baik agar tidak menimbulkan kegaduhan berkepanjangan.

Fenomena Kejujuran dalam Dunia Kuliner

Kasus ini membuka diskusi lebih luas tentang transparansi kuliner di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus produk yang menipu konsumen dengan label halal palsu atau tidak mencantumkan informasi bahan baku.

Sikap jujur pemilik bakso babi ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pelaku usaha lain.
Kejujuran bukan hanya soal moral, tapi juga bagian dari strategi bisnis yang menciptakan kepercayaan jangka panjang.

MUI dan DMI Imbau Publik Tetap Tenang dan Bijak

MUI dan DMI Bantul menegaskan agar masyarakat tidak memperbesar isu ini secara emosional. Mereka mengingatkan pentingnya saling menghormati dalam konteks keberagaman.

“Tidak semua warung harus halal, tapi semua warung harus jujur,” ujar KH. Ahmad Fauzan.

Masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan bijak menanggapi fenomena viral semacam ini. Di sisi lain, pemerintah daerah juga diharapkan bisa memperkuat edukasi soal sertifikasi halal dan komunikasi publik agar kejadian seperti ini tidak selalu menimbulkan polemik setiap kali muncul di media sosial.