Kehendak Ilahi dan Duka di Surakarta
satuhalaman.com – Pada pagi hari Minggu, 2 November 2025, kabar duka mengguncang kota Surakarta—Pakubuwono XIII (PB XIII) resmi berpulang setelah menjalani perawatan intensif.
Lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 dengan nama kecil Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabehi, PB XIII menapaki takhta Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 10 September 2004.
Wafatnya PB XIII — pada usia 77 tahun — bukan sekadar kehilangan seorang tokoh adat, melainkan juga momen penutup bab penting bagi dinasti Mataram modern yang telah menghadapi berbagai dinamika internal dan eksternal.

Latar Belakang dan Jejak Kepemimpinan
Sejak muda, Hangabehi dibesarkan dengan nilai-nilai keraton: adab Jawa, tradisi gamelan, tarian sakral, dan tuntutan moral sebagai calon pewaris tahta.
Ketika tahta direbut setelah wafatnya Pakubuwono XII pada 2004, muncul konflik penerus antara dirinya dan adiknya, KGPH. Tedjowulan. Kedua pihak sempat mengklaim sebagai Susuhunan Surakarta.
Konflik itu baru selesai lewat rekonsiliasi resmi di tahun 2012, di mana Tedjowulan mengakui Hangabehi sebagai PB XIII. Langkah ini memperkuat legitimasi dan stabilitas internal keraton di tengah era modernisasi.
Selama masa pemerintahannya, PB XIII berfokus pada pelestarian budaya, memperkuat hubungan antara keraton dan masyarakat, serta menjaga posisi simbolik keraton sebagai warisan tak ternilai.
Makna Wafat PB XIII bagi Keraton dan Masyarakat
Kepulangan PB XIII menandai peralihan penting: dari tokoh yang menyatukan kembali keluarga besar keraton menjadi waris yang harus menghadapi perubahan zaman.
Pertama, secara simbolik, wafatnya berarti satu era—yang dibebani sejarah, konflik, dan rekonsiliasi—telah usai, dan sesungguhnya tongkat estafet harus diemban generasi berikutnya.
Kedua, secara praktis, keraton kini menghadapi tantangan baru: menjaga relevance di era modern tanpa melepas identitas tradisi, mempertahankan warisan budaya agar tetap hidup dan tidak sekadar menjadi objek wisata.
Ketiga, masyarakat di Surakarta dan sekitarnya menyaksikan bahwa peran raja keraton kini lebih simbolis daripada politis resmi—namun pengaruh adat dan budaya tetap besar. Wafat PB XIII menjadi momentum refleksi terhadap nilai-nilai adat yang terus melekat di kehidupan masyarakat Jawa.
Prosesi, Pemakaman, dan Tradisi Keraton
Setelah menghembuskan nafas terakhir di RS Indriati Solo Baru, Sukoharjo, Jawa Tengah, pagi hari 2 November 2025, jenazah PB XIII disemayamkan di dalam kompleks keraton.
Pemakaman dijadwalkan pada Rabu, 5 November 2025, dan akan dilaksanakan sesuai tata upacara keraton, kemudian dimakamkan di Makam Imogiri, Yogyakarta — makam raja-raja Mataram.
Dalam tradisi, proses pemakaman melibatkan upacara sakral: pemandian jenazah, prosesi kereta jenazah raja, pengiring adat dan abdi dalem, serta doa-doa adat Jawa sebagai penghormatan terakhir.
Warisan dan Tantangan Masa Depan
Warisan PB XIII tidak hanya berupa gelar dan kerajaan tradisional, melainkan semangat rekonsiliasi, pelestarian budaya, dan relevansi keraton di zaman kini.
Tantangan utama ke depan: siapkah generasi berikutnya membawa keraton ke zaman digital dan global tanpa kehilangan akar budaya?
Keraton Surakarta sekarang menghadapi tugas menjaga bahwa budaya Jawa bukan hanya “museum hidup”, tetapi bagian aktif kehidupan masyarakat—melalui pendidikan, pariwisata, dan kolaborasi sosial.
Masyarakat dan pemerintah lokal pun punya peran: mendukung keraton dengan menghormati tradisi, memberi ruang bagi inovasi budaya, dan memastikan keterlibatan luas—tidak hanya elit keraton.
Wafatnya Pakubuwono XIII menandai akhir sebuah era dan awal era baru di keraton Surakarta. Kehadiran dan kepemimpinannya telah mencatat banyak perubahan yang merangkul masa lalu dan menghadapi tantangan masa kini.
Masyarakat Jawa dan bangsa Indonesia kini mengenang sosok yang meneguhkan bahwa bentang budaya bukan hanya tinggal cerita, tetapi warisan yang hidup.
Langkah ke depan
-
Keraton Surakarta harus melanjutkan proses regenerasi dengan memperkuat edukasi budaya dan keterbukaan publik.
-
Pemerintah daerah dan masyarakat luas perlu mendukung pengembangan keraton sebagai pusat kebudayaan aktif—bukan hanya obyek wisata pasif.
-
Generasi berikutnya harus diinvestasikan agar mampu mengartikulasikan tradisi dalam bahasa zaman: digital, lintas budaya, lintas generasi.
Jika Anda ingin versi ringkas atau tambahan elemen multimedia (foto, kronologi timeline, video), saya bisa bantu segera.